Hujan Lagi

Sebuah Cerpen arya : Al Arudi

0

 

“Hujan lagi…! Hujan lagi..! Sialan…!” Sobari lagi-lagi mencela hujan. Hati Sobari benar-benar kesal dan benci setiap kali datangnya musim hujan. Bagi Sobari hujan akan merugikan dirinya sebagai pedagang es doger  yang sudah ditekuninya sejak dia masih bujangan. Jika musim hujan sudah tiba, omset penjualan es dogernya akan turun drastis lantaran pelanggan enggan menyantap makanan yang dingin-dingin. Anak-anak kebanyakan dilarang oleh ibu mereka minum yang dingin-dingin lantaran takut terkena flu dan pilek serta demam, sehingga membuat mereka tidak bisa ke sekolah.

Kekesalan Sobari kepada hujan tidak hanya karena dagangannya yang kurang laku, tapi jika hujan turun pekarangan rumahnya juga akan diterjang banjir setinggi lutut dan sebagian masuk ke rumahnya. Jika itu sudah terjadi, Sobari dan istrinya akan disusahkan dengan mengurusi barang- barang yang ada di rumah kontrakan yang mereka tempati agar tidak basah terendam air. Sobari juga akan mendapat kesulitan mendorong gerobak es nya keluar dari gang menuju jalan raya, sebab jalan gang  sempit depan rumahnya pun terendam banjir setinggi lutut. Dan apabila air banjir itu surut akan meninggalkan kotoran yang terbawa oleh air, serta meninggalkan bau busuk yang membuat Sobari mau muntah dan kehilangan selera makan.

Biasanya istri Sobari lah yang lebih aktif membersihkan rumah jika air sudah surut tanpa mengomel dan mengutuk hujan. Sobari hanya sekadar membantu sambil menutupi hidungnya dengan masker sisa waktu ada wabah corona yang lalu, karena dia tak tahan dengan bau yang ditinggalkan oleh banjir; disamping itu dia merasa lelah setelah seharian menjajakan es doger. Istri Sobari tidak ambil pusing walaupun Sobari tidak banyak membantu membersihkan rumah, dia sudah memaklumi sifat dan tabiat Sobari sejak dari mereka masih baru saling mengenal hingga jadi suami istri.

Dalam hal penghasilan Sobari sebagai penjual es doger, wanita yang berasal dari keluarga sederhana itu pun tidak pernah mengomel. Menyadari penghasilan Sobari tidak seberapa, dia pun ikut membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan menjadi buruh cuci di rumah tetangga yang membutuhkan jasanya. Dia mau memahami akan keterbatasan penghasilan Sobari. Dia tidak pernah menuntut yang macam-macam asal Sobari baik dan tak pernah bersikap kasar kepadanya. Dari kecil dia sudah terbiasa hidup dengan penuh kesederhanaan. Sampai saat ini pun dia tidak pernah berhutang, karena hidup apa adanya dan tidak pernah menuntut kepada Sobari untuk membeli sesuatu di luar  kemampuannya.

Sang surya hanya sedikit memamerkan kegagahannya, udara pun terasa sejuk menyapu kulit wajah Sobari. Hujan tadi malam masih menyisakan gerimis, saat tangan kekar dan hitam Sobari meraih gagang gerobak terbuat dari kayu yang bertengger di samping rumah kontrakannya.

Perlahan-lahan Sobari menarik dan kemudian mendorong gerobaknya keluar dari halaman rumah dan menulusuri jalan gang yang dipenuhi air setinggi lutut. Suara air bergemericik serta menimbulkan gelombang kecil terkena putaran roda gerobak es doger milik Sobari. Masih beruntung tinggi air hanya sebatas setengah roda gerobak, sehingga es dan perlengkapan lain yang ada tidak terkena air.  Roda gerobak Sobari juga sempat menabrak sandal jepit usang dan sampah kantong kresek yang terbawa air, sehingga ada yang tersangkut di jari-jari roda  gerobak. Hal itu menambah kekesalan hati Sobari karena harus melepaskan kantong kresek itu.

Sobari melihat ada beberapa orang dewasa berseragam kerja serta anak-anak berseragam sekolah yang juga tampak kesusahan. Mereka tampak menjunjung tas dan sepatu mereka serta menggulung celana hingga ke atas lutut, agar tidak basah terkena air.

Sambil mendorong gerobak menuju jalan raya, yang tidak terkena genangan air, dalam hati Sobari masih mencurahkan kekesalannya dengan mengata- ngatai hujan, “Hujan lagi…! Hujan lagi…! Hujan lagi…!” katanya dalam hati, sebab dia tidak mau juga ucapannya sampai ke telinga orang lain. Dia takut dianggap orang kurang waras karena bicara sendiri.

Sempat juga terlintas dalam pikiran Sobari menganggap Tuhan tidak adil. Tuhan telah mengirim hujan telalu sering, sehingga orang kecil  pedagang es doger sepertinya mendapat kerugian karena dagangannya kurang laku, tinggal di gang sempit didera oleh banjir yang sangat menyusahkan. Tapi kemudian dia beristighfar. Dalam hati dia takut juga mendapat
azab dari Tuhan karena pikiran-pikirannya itu. Walaupun hanya sekolah madrasah ibtidaiyah yang hanya setingkat SD, Sobari pernah merasakan juga mendapat pendidikan agama. Pernah juga mendapat didikan dari ibu dan bapak guru bagaimana cara bertutur kata yang baik. Atas dasar itu Sobari yang rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban itu bisa mengontrol ucapannya sedikit- sedikit.

Beberapa waktu kemudian Sobari tiba di jalan raya yang tidak terkena banjir. Hatinya lega setelah usai melewati kubangan air yang membuat hatinya jengkel. Akhirnya Sobari yang sudah berumur lima puluh lima tahun itu terus mendorong gerobaknya menuju Jalan Depati Amir tempat dia biasa mangkal.

Sobari memarkir gerobaknya seperti biasa di pinggir jalan depan sebuah gedung sekolah dasar.  Di sekitar tempat ini memang terdapat beberapa gedung sekolah, terdiri dari SD, SMP dan SMA yang saling berdekatan. Jalan depan gedung sekolah ini pun ramai dilalui pejalan kaki maupun kendaraan roda dua dan empat. Di dekat Sobari biasa mangkal juga ada sebatang pohon yang bisa melindungi kulitnya dari sengatan mentari jika hari panas. Jika hujan datang tiba-tiba biasanya dia menyelimuti gerobaknya dengan plastik tebal. Setelah itu dia akan berlari untuk berlindung di bawah atap gerbang sekolah dekat pos Satpam.

Sambil duduk di bangku terbuat dari kayu yang dibawanya dari rumah, Sobri memandang ke arah anak sekolah yang baru berdatangan memasuki gerbang sekolah mereka. Sobari berharap di antara anak- anak itu ada yang membeli es dogernya hari ini, walaupun cuaca sering hujan. Walau tidak membeli di pagi hari, Sobari berharap anak-anak itu membeli es nya di siang hari saat jam istirahat.

Tiba-tiba datang seorang ibu muda menghentikan mobilnya di hadapan Sobari. Sobari mengira ibu itu mau membeli es doger, sehingga Sobari sedikit tersenyum sambil melihat ke arah ibu itu. Ternyata dugaan Sobari meleset. Setelah membuka jendela kaca mobilnya, dengan memasang wajah masam dan tidak ramah wanita itu berujar kepada Sobari.

“Hai…, Bang…! Anak saya tidak masuk sekolah hari ini. Dia demam flu gara-gara minum es kamu, tahu! ” seru ibu itu.

“Wah…, saya nggak tahu anak ibu yang mana….?Kemaren ada sekitar tujuh orang anak yang beli es dengan saya. ” Saya hanya jualan untuk cari makan, Bu, bukan untuk ngurusin orang yang sakit, ” balas Sobari.

“Mulai hari ini saya larang anak saya membeli es, tahu kamu….! Apalagi ini musim hujan…!” lanjut ibu itu lagi dengan wajah angkuh.

Sobari hanya diam tidak mau lagi meladeni kata-kata wanita itu, agar tidak merembet jadi pertengkaran hebat. Ibu itu pun menutup jendela mobilnya sambil memandang Sobari dengan wajah masam, lalu dia melaju dengan mobilnya.

Hari ini, dari pagi hingga siang hanya ada lima orang yang membeli es Sobari, karena saat jam istirahat anak sekolah, hujan turun lagi dengan derasnya. Akhirnya Sobari pulang, karena es nya pun sudah mencair. Dia pun menggerutu lagi dalam hatinya, “Hujan sialan…! Hujan sialan…! Hujan sialan…!”
***

Saat ini Sobari sangat gembira dan senang karena musim hujan sudah beranggaur-angsur berganti dengan musim panas. Hatinya juga senang karena dia merasa omset dagangan es dogernya akan  meningkat kembali. Dan kesenangannya bertambah lagi, lantaran banjir yang menggenangi rumahnya sudah tak nampak lagi. Saat ini tidak ada lagi kata- kata mencela hujan yang meluncur dari mulutnya yang sudah mulai nampak ada kedutan karena usia.

Hari ini harapan Sobari jadi kenyataan, dagangan es dogernya laris manis diserbu anak-anak sekolah dan orang dewasa yang kebetulan lewat di jalan dekat Sobari mangkal. Walaupun dia sempat kewalahan melayani pembeli, tapi hatinya sangat gembira karena akan membawa uang yang lebih banyak dari biasanya buat Sang istri di rumah. Pikirnya itu akan menjadi amal yang baik baginya di hari kiamat nanti. Dia pulang lebih cepat daripada waktu musim hujan yang telah lalu. Menjelang siang es dogernya sudah ludes, hanya sedikit menyisakan cairan bekas lelehan es di dalam tong esnya.

Namun ternyata musim panas tidak berlansung hanya sebulan atau dua bulan saja, tapi terus berlanjut, tidak sehari pun diselingi oleh  hujan. Udara dari pagi hingga malam terasa panas dirasakan oleh Sobari. Tanah di halaman rumah Sobari mengeras dan timbul retak-retak. Tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar rumah layu dan mengering karena tak tersiram hujan. Sumur-sumur banyak yang mengering, sehingga Sobari terpaksa mencari sumber air untuk mengantri guna mendapatkankan air satu atau dua jerigen saja, karena dibatasi oleh pemilik sumur.

Tidak hanya itu, saat ini Sobari merasa kesulitan mendapatkan batu es untuk diserut menjadi es doger. Penjual batu es tempat biasa dia berlangganan menutup usahanya sementara, karena kesulitan mendapatkan air bersih. Sobari mencoba nembeli ke pabrik es bersekala besar, tapi mereka tidak melayani pembelian dalam jumlah kecil. Tentulah Sobari tidak mungkin membeli batu es dalam jumlah besar .

Karena tidak mendapatkan batu es,  sepanjang musim kemarau ini Sobari menjadi penganggur. Gerobak es nya  hanya teronggok di samping rumah kontrakannya menanti kemarau mereda. Jika musim hujan kemarin Sobari tetap punya masukan keuangan walau sedikit. Namun di musim kemarau ini dia jadi penganggur. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tidak punya keakhlian lain selain jualan es doger. Saat ini Sobari hanya bisa mengipas- ngipasi tubuhnya yang berkeringat karena kepanasan, sambil dari mulutnya keluar kata-kata, “Panas…! Panas…! Panas…! Sialan…! ”

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Ada yang bisa kami bantu bro/sis ?