Pikiran Bujang jadi bingung, dia tidak tahu harus dibuang kemana mayat Sudin yang terbujur kaku di atas lantai ubin kamar kosnya. Di sekitar mulut mayat tampak merah kebiru-biruan disertai cairan berbusa yang mulai mengering. Sudah lebih dari dua puluh empat jam mayat Sudin terbujur di tempat itu. Dari jasad Sudin samar-samar sudah mulai menguar bau tak sedap yang menebar di ruang tidur berukuran tiga kali tiga meter itu.
Bujang merasa jantungnya mulai berdebar. Tubuhnya mulai terasa dibanjiri oleh peluh yang mendatangkan rasa dingin di sekitar tengkuknya. Setiap ada suara kendaraan dan kecoak lewat di dinding kamar , dia rasakan seperti sebuah isyarat mengantarnya ke balik jeruji besi. Semua macam kekhawatiran dan ketakutan mulai merayapi pikiran dan perasaannya. Baru kali inilah dia diserang ketakutan yang sangat kuat menghantam kejiwaannya. Baru kali inilah Bujang melakukan perbuatan menghilangkan nyawa seseorang. Orang yang dibunuhnya adalah teman sendiri, yang sama-sama datang dari kampung untuk berjuang demi menyambung hidup.
Perasaan menyesal memenuhi sanubarinya. Sekarang Bujang hanya duduk di bibir tempat tidurnya, sambil memutar otak bagaimana cara membuang mayat Sudin tanpa bekas, agar tidak diketahui oleh aparat keamanan dan orang-orang di sekitarnya. Jika sampai ketahuan aparat keamanan, sudah tak dapat dielak lagi ruangan kecil dengan pintu berjeruji besi akan menjadi tempat tinggal berikutnya bagi Bujang.
Sejak datang dari kampung hingga menjadi karyawan sebuah pabrik barang elektronik di Jakarta, Bujang dan Sudin ngekos satu kamar. Bayar uang kos tiap bulan mereka patungan, untuk menghemat uang, agar bisa ditabung untuk dikirim kepada keluarga di kampung.
***
“Kita merantau ke Jakarta yok, Jang,” ajak Sudin sambil menatap ke arah Bujang, ketika mereka berdua sedang nongkrong di sebuah pos kamling dekat perempatan jalan di ujung desa. Suara motor butut milik petani yang membawa hasil kebun membuat Sudin sedikit geram, karena mengganggu pembicaraannya.” Rasanya aku udah bosen di kampung ini, Jang, di sini kita hanya menjadi buruh penyadap karet. Aku ingin bekerja di swasta. Aku yakin masih ada pabrik yang menerima karyawan lulusan SMA seperti kita.”
“Kamu mau kerja di pabrik apa, Din, saat ini kerja di pabrik juga kalau gak ada koneksi jangan harap kamu bisa diterima,” jawab Bujang sambil membalas tatapan Sudin dengan mengernyitkan dahinya yang hitam. “Lagian kita tinggal di mana nanti jika kita belum punya kerjaan? Jangan kamu kira hidup di kota besar sama dengan di kampung. Semua harga serba mahal. Mau makan singkong pun kita harus beli. Kalau di desa kita tinggal cabut di kebun belakang rumah.”
Sudin bergeming sejenak sambil memikirkan apa yang dikatakan Bujang. “Tapi paling tidak kita dapat pengalaman tinggal di kota besar, Jang. Selama ini kita hanya melihat hijaunya pohon-pohon karet yang kita sadap. Kita hanya melihat dan mendengar kicauan burung di tengah kebun. Kita hanya bisa menatap ikan seluang berenang di sungai yang jernih. Kita tahu berita hanya dari televisi dan surat khabar. Aku ingin merubah pemandangan baru. Aku ingin melihat secara langsung gedung-gedung pencakar langit dan gadis-gadis moderen di kota besar. Aku ingin melihat artis dan bintang film secara langsung. Dan yang lebih penting lagi merubah nasib dari buruh penyadap karet jadi karyawan swasta dengan seragam yang keren.”
Bujang berpikir sejenak, lalu katanya,”Terus sampai di Jakarta kita nginap di mana, Din? Kita kan tidak langsung dapat kerjaan…. Apa kamu punya saudara di sana yang mau menampung kita untuk sementara?”
“Kamu ingat tidak, Jang, sama Mamat anak Pak Haji Husen? Teman masa kecil kita menangguk ikan di sungai kecil tepi hutan dulu? Selesai SMP dia diajak pamannya ke Jakarta. Aku dapat kabar dari adiknya, sekarang Mamat sukses menjadi seorang pengusaha. Barangkali dia mau menampung kita untuk sementara waktu,” jelas Sudin.
“Apa kau tahu alamat Mamat di Jakarta, Din?”
“Soal itu gampang, Jang, kita bertanya kepada adik ataupun bapaknya,”
Bujang masih memikirkan terus ajakan Sudin. Biar bagaimanapun Bujang merasa lebih tenang hidup di kampungnya sendiri, walaupun hidup penuh kesederhanaan serta jauh dari hingar bingar kota metropolitan. Bujang merasa lebih nyaman makan singkong di kampung sendiri ketimbang makan daging di tempat orang. Namun karena Sudin adalah temannya sedari kecil, dia tentu merasa kehilangan dan kesepian jika Sudin berangkat sendiri dan meninggalkannya di kampung. Akhirnya, “Kalau begitu… baiklah, Din. Kita berangkat tiga hari lagi,” Kata Bujang.
“Nah begitu dong, Jang, kau memang sahabatku paling setia di dunia ini. Mari kita merubah nasib, Jang,” jawab Sudin sambil merangkul pundak Bujang.
Tiga hari kemudian Bujang dan sudin berangkat ke ibu kota. Mereka berdua membawa pakaian dan uang secukupnya untuk ongkos transportasi dan kebutuhan hidup sebelum mereka mendapat pekerjaan di Jakarta. Tak lupa juga mereka berdua membawa kertas yang bertuliskan alamat rumah Mamat, teman lama mereka. Mereka tidak memiliki nomor telepon Mamat, karena waktu itu dunia belum memasuki era hand phone dan internet; telepon rumah pun hanya orang-orang tertentu yang memiliki.
Bujang dan Sudin berangkat ke Jakarta melalui pelabuhan Mentok dengan menumpang KM. Rinjani. Kala itu pemuda-pemuda Bangka yang merantau keluar daerah masih jarang yang menggunakan pesawat, apalagi pemuda dari kampung. Ticket pesawat di jaman itu masih dianggap barang mahal.
Setelah mereka berdua tiba di pelabuhan Tanjung Periuk, Sudin celingak-celinguk menoleh ke sana- kemari. Dia tampak bingung hendak ke arah mana melangkahkan kakinya. Berbeda dengan Bujang, dia tampak lebih tenang. Dia tidak gugup sedikitpun melihat ramainya manusia serta hiruk pikuk suara kendaraan di area depan pelabuhan Tanjung Periuk. Dari segi usia Bujang lebih tua dua tahun dari Sudin, meskipun sekolah mereka sama. sehingga cara berpikir Bujang agak lebih matang sedikit dari Sudin.
Bujang melirik ke arah Sudin. Dalam hati dia tertawa sendiri melihat Sudin kebingungan. Lalu dia berkata kepada Sudin,”Tenang, Din, kita istirahat dulu sebentar untuk melepas lelah setelan sehari semalam di kapal, sambil memikir langkah kita selanjutnya.”
“Baiklah, Jang, aku ikut katamu saja,” jawab Sudin sambil menyenderkan punggungnya ke dinding bangunan di area depan pelabuhan.
Saat mereka beristirahat, Bujang melihat seseorang pria berseragam Bea Cukai lewat di depan mereka. Bujang menanyakan perihal alamat yang akan mereka tuju kepada petugas Bea Cukai itu.
“Oh itu, Adek dari sini naik ojek aja ke Terminal Tanjung Periuk. Di sana Adek bisa bertanya kepada sopir-sopir angkot, nanti mereka akan memberi tahu.” jawab pria itu dengan ramah.
Rupanya tidak terlalu sulit mencari rumah Mamat. Ternyata benar, Mamat teman mereka sudah sukses di Jakarta. Mamat memiliki rumah besar di sebuah komplek perumahan elit yang ada di Jakarta. Untuk sementara waktu Bujang dan Sudin dijinkan oleh Mamat untuk tinggal di rumahnya. Bujang dan Sudin menempati sebuah kamar yang dulu ditempati oleh pembantu rumah tangga, yang sekarang tidak bekerja lagi di rumah Mamat.
Mamat memahami keinginan kedua teman masa kecilnya untuk mengadu nasib di ibu kota.
Dia pun ikut membantu mencari pekerjaan untuk Bujang dan Sudin. Mamat memiliki seorang teman yang memiliki usaha perakitan alat-alat elektronik. Kebetulan temannya itu sedang mengadakan perluasan pabrik dan membutuhkan karyawan baru. Atas bantuan Mamat, Bujang dan Sudin pun diterima bekerja di pabrik alat-alat elektronik. Akan tetapi karena Bujang dan Sudin tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang alat elektronik, mereka ditempatkan di bagian kebersihan pabrik.
Setelah mendapat pekerjaan, Bujang dan Sudin mohon ijin kepada Mamat untuk tinggal di kos mereka sendiri, dengan alasan agar tidak merepotkan Mamat dan istrinya. Mamat pun dengan senang hati menuruti keinginan kedua teman masa kecilnya itu, tanpa ada prasangka buruk sedikitpun.
“Baiklah teman, selamat berjuang!” Kata Mamat saat melepaskan kedua temannya itu. “Kalau ada waktu main-mainlah ke gubuk ku ini, ” lanjut Mamat merendah.
Bujang dan Sudin tersenyum ke arah Mamat, sambil mengucapkan terimakasih atas kebaikannya.
Bujang dan Sudin tinggal bersama di sebuah rumah kos. Untuk membayar uang kos mereka berdua patungan agar bisa berhemat.
Namun seiring berjalannya waktu, Sudin berubah. Sudin sudah jarang berteman dengan Bujang. Dia mulai bergaul dengan teman-temannya sesama karyawan pabrik yang berasal dari daerah lain. Bagi Bujang tidak masalah Sudin mau berteman dengan siapa saja. Yang membuat hati Bujang merasa tak nyaman, Sudin lebih cendrung bergaul dengan orang-orang bekarakter buruk. Sudin mulai dekat dekan minum-minuman keras. Uang gaji sebagian digunakan untuk sokongan beli minuman keras dengan teman-temannya. Kebiasaan-kebiasaan baik yang dia bawa dari kampung mulai ditinggalkan. Sholat lima waktu sudah ditinggalkan oleh Sudin. Sudin tidak pernah pulang kerja sama-sama lagi dengannya. Jika diajak pulang bersama, Sudin hanya mengatakan bahwa dia masih ada keperluan lain, tidak bisa tiba di rumah bersamaan. Bujang mulai merasa jijik, karena setiap kali Sudin merebahkan tubuhnya di kasur kamar kos, bau alkohol menyeruak ke rongga hidung Bujang, membuat isi perutnya ingin keluar.
Melihat kelakuan temannya itu, Bujang memberi nasehat. Akan tetapi semua nasehat Bujang hanya dianggap angin lalu oleh Sudin. Sudin merasa tersinggung dan dia memutuskan pindah kos untuk memisahkan diri dari Bujang.
Sudah sepuluh tahun Bujang hidup di Jakarta. Dia tidak pernah terpengaruh dengan cara hidup seperti Sudin. Bujang sudah menceritakan prihal Sudin kepada Mamat ketika mereka bertemu di suatu kesempatan. Mamat juga tidak suka dengan tingkah Sudin, karena akan mempermalukannya di hadapan pemilik pabrik yang juga temannya.
Saat ini dunia sudah memasuki era teknologi baru. Hand phone mulai bermunculan, walaupun hanya layar hitam putih, hanya bisa kirim SMS dan nelepon. Sudin tidak ingin kehilangan gaya. Beberapa orang temannya sudah ada yang membeli benda itu, sehingga dia pun ikut membeli. Seluruh sisa uang gajinya hanya untuk membeli hand phone, agar tidak kehilangan gaya. Handphone yang dibelinya hanya handphone bekas.
Setelah satu bulan, handphone itu hilang. Dia menuduh Bujang telah mencurinya, sebab lokernya di tempat kerja bersebelahan dengan loker Bujang. Ketika terakhir dia menaruh barangnya di loker, Bujang ada si situ.
Karena dituduh sekeji itu, tentulah Bujang tidak terima. Hati Bujang meradang dan kecewa besar kepada Sudin. Semut pun jika dipijak akan menggigit. Adu mulut pun terjadi antara dua orang yang berasal dari satu kampung itu.
Kekecewaan Bujang kepada Sudin sudah sulit terbendung. Jika dia tahu urusannya jadi begitu, dia tak akan mau mengikuti keinginan Sudin untuk meninggalkan kampung. Mendingan dia menanam lada dan karet. Jika itu dilakukannya sepuluh tahun yang lalu, sekarang hasilnya lebih dari gajinya sebagai karyawan pabrik.
Sampai kapan pun Bujang tidak rela atas tuduhan Sudin. Seumur hidup baru kali ini dia dituduh mencuri. Padahal tidak sedikitpun dia tertarik dengan benda bernama handphone pada waktu itu. Bujang merasa belum butuh benda semacam itu.
Pagi ini Sudin datang menemui Bujang. Ketika membuka pintu kamarnya, Bujang kaget ketika melihat orang yang sudah menyakiti hatinya berada di depan muka. Bujang tidak mempersilakan Sudin masuk, tapi Sudin langsung nyelonong dan duduk di kursi dekat pinggir tempat tidur. Bujang tidak tahu maksud kedatangan Sudin untuk meminta maaf. Sudin telah menyesali perbuatannya. Sudin sudah Rindu dengan kampung halamannya. Dia ingin mengajak Bujang berhenti bekerja dan pulang ke kampung setelah sepuluh tahun mereka tinggalkan.
Namun malang nasib Sudin, mungkin sudah takdirnya mati di tangan Bujang. Sebelum dia mengutarakan niatnya untuk meminta maaf, Bujang sudah menuju ke dapur. Bujang tidak tahu maksud kedatangan Sudin untuk minta maaf dan bertobat. Dengan dibakar api kekecewaan yang mendalam, Bujang membuat secangkir teh untuk Sudin, dicampur dengan racun tikus berbentuk cair bewarna coklat. Warna racun dengan teh hampir serupa, sehingga Sudin tidak tahu bahwa teh itu ada racunnya.
Sudin merasa gembira melihat Bujang menyajikan segelas teh untuknya. Dalam hatinya berkata, bahwa Bujang memang teman yang baik. Walaupun dia sudah menyakiti hatinya, tapi Bujang tidak menaruh dendam kepadanya.
Namun setelah beberapa saat setelah meneguk teh yang disediakan Bujang, Sudin merasa ususnya panas seperti terbakar. Dia merasa mual dan dari perutnya keluar cairan berbusa, hingga meluber di sekitar mulutnya. Matanya melotot, tangannya mencengkram lehernya karena dia merasa kerongkongannya tercekat. Beberapa saat kemudian Sudin menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya tergolek di atas lantai dengan mulut berbusa.
***
Bujang merasa puas sudah bisa membalaskan sakit hatinya.
Di tengah kebingungan memikirkan hendak dibuang kemana jazad Sudin, tiba-tiba Bujang teringat di belakang tempat kosnya ada septic thank yang tutupnya bisa dibuka.
Bujang memotong tubuh sudin kecil-kecil, seperti potongan hewan kurban saat lebaran Idhul Adha, dengan parang yang dia bawa dari kampung dulu. Parang itu sangat tajam karena selalu dirawatnya. Sebagai orang yang berasal dari kampung dan biasa berkebun, Bujang Sangat pandai merawat senjata tajam.
Setelah mayat Sudin dipotong kecil-kecil, lalu dimasukkannya ke dalam kantong kresek berukuran besar. Ketika waktu dini hari tiba, Bujang mengendap-endap menuju septic thank, agar tidak diketahui oleh orang lain.
Bau tinja menyeruak masuk ke lubang hidungnya, ketika tutup septic tank dibuka. Di tengah kegelapan dan dinginnya udara dini hari, Bujang melihat ke kiri dan ke kanan siapa tahu ada orang yang melihatnya. Setelah dia yakin tidak ada yang melihat, dengan cepat dia mencemplungkan potongan mayat Sudin ke dalam septic thank. Dia tersenyum puas. Kemudian septic thank ditutupnya kembali. Dia yakin tidak akan ada orang yang tahu. Bau mayat Sudin akan tersamarkan oleh bau tinja, sehingga orang tidak akan dapat mencium bau mayat di sekitar tempat itu.
Bujang kembali ke kamar kosnya untuk mengemasi barang-barang dan pakaiannya. Pagi itu juga dia meninggalkan Jakarta dan pulang ke kampung melalui jalur darat dengan menumpang bus jurusan Jakarta-Palembang; kemudian menyeberang dengan jet poil dari Pelabuhan Bom Baru menuju Pulau Bangka. Jika keluarga dan orang-orang kampung bertanya perihal keberadaan Sudin, dia akan bilang bahwa dia sudah lama tidak serumah dan bertemu dengan Sudin.
Ketika Bujang tiba di kampungnya hari masih siang. Bujang jadi tercengang ketika melihat kampungnya banyak berubah. Rumah-rumah panggung berdinding papan dan beratap rumbia sudah berganti dengan bangunan permanen serba modern. Tak tampak lagi para wanita duduk di tangga rumah sambil mencari kutu seperti dulu. Gadis- gadis desa yang dia temui di sepanjang jalan sudah berpakaian dan berdandan seperti artis ibu kota.
Setelah seminggu berada di kampung, barulah Bujang tahu bahwa perubahan yang terjadi di kampungnya karena pemerintah telah membebaskan rakyat membuka tambang timah sendiri. Masyarakat kampungnya sudah merubah lahan kebun lada dan karet mereka menjadi Tambang Inkonvensional
Bujang pun ikut membuka tambang timah dengan menggunakan sebagian lahan kebun karet warisan orang tuanya dan uang tabungan selama bekerja di Jakarta. Bujang ingin memiliki usaha tambang timah yang terbesar di kampungnya. Namun ada hal yang membuatnya susah tidur, susah makan, dan susah bekerja, bahkan menghambat cita-citanya. Bayangan Sudin selalu menghantui setiap langkahnya di manapun dia berada. (*)