Mak Isah Bangkit dari Kubur

Sebuah Cerpen Karya : Al Arudi

0

“Mak Isah bangkiiiit…! Mak Isah bangkiiiit…!” Tore berlari sambil berteriak agar terdengar orang sekampung di tengah malam. Jantungnya berdegup kencang,mukanya pucat, nafasnya terengah-engah. Entah dibuat-buat atau memang benar hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu.

***

Mak Isah adalah seorang rentenir yang tak kenal toleransi kepada siapapun. Terlambat sebulan saja orang melakukan pembayaran, bunga jadi berlipat-lipat. Dua  bulan menunggak semua barang di rumah diangkut habis pakai mobil pick up.

Mak Isah meninggal tiga hari yang lalu, karena menggantung lehernya dengan tali, sebab dia depresi karena anak gadis semata wayangnya mati dilindas truck.

Salah satu korban tak berperikemanusiaan Mak Isah ialah Tore. Tore pernah minjam uang kepada Mak Isah untuk biaya menebus obat anaknya yang sakit diare. Waktu itu Tore benar-benar gak punya uang. Uang yang ada padanya ludes karena kalah di meja judi.

Tore yang malas  bekerja dan hanya menghabiskan uang warung milik istrinya itu, meminjam uang lima belas juta rupiah.

“Habis bulan harus kamu lunas ya, Tore, bunganya tiga puluh persen, ya,” Mak Isah memberi wanti-wanti.

“Tenang, Mak, pasti saya bayar, ” jawab Tore dengan mimik wajah meyakinkan.

Akhir bulan telah tiba, Mak Isah pun mengutus dua orang asistennya datang ke rumah Tore. Postur tubuh asisten Mak Isah lebih tegap dari Tore. Wajahnya pun tampak beringas.
“Bayar hutang Mak Isah, Tore!”perintah salah seorang asisten dengan mata sedikit melotot ke arah Tore

“Maaf, Bang, bulan ini aku belum dapat uang. Warung istriku sepi,”jawab Tore

“Ah, dasar kamu penjudi. Orang sepertimu sampai kapanpun gak bakalan punya duit! Bulan depan kalau gak bayar tahu sendiri akibatnya. Awas, lho!” ancam asisten Mak Isah dengan muka beringas.

Bulan berikutnya, Mak Isah langsung yang datang ke rumah Tore untuk menagih. “Mana hutangmu, Tore, ayo bayar sekarang!”

“Anu, Mak, beri aku waktu satu bulan lagi, aku belum ada kerjaan bulan ini,”jawab Tore terbata-bata

“Aaaah…dasar  brengsek lho, Tore! bentak Mak Isah dengan mata melotot, sambil menunjuk muka tore dengan jari telunjuknya.”Sikat semuanya!” perintah Mak isah kepada asistennya.

Beberapa menit kemudian televisi, kipas angin dan sepeda anaknya sudah berpindah ke atas mobil pic up milik Mak Isah. Tore tak kuasa menghalangi karena dia merasa tak bakalan menang  melawan dua orang asisten Mak Isah yang badannya lebih besar daripada badannya. Dalam hati dia hanya bisa menyumpah serapah, agar Mak Isah dan asistennya mati. Tore sangat benci dengan Mak Isah dan anak buahnya,karena sudah berlaku sewenang-wenang.

Mungkin sumpah Tore manjur juga, biar dia seorang penjudi dan pemalas. Buktinya dua bulan kemudian anak Mak Isah mati kecelakaan. Mak Isah sendiri mati bunuh diri, akibat depresi atas kematian anak gadis semata wayangnya. Semua harta hasil usaha dari makan riba, diambil oleh ahli waris dari pihak saudaranya.

Dua hari sebelum jatuh tempo hutang  kepada Mak isah, Tore sudah mengungsikan istri dan anaknya  ke rumah orang tuanya. Biarpun Tore penjudi dan pemalas kerja, tapi dia tidak sampai hati jika anaknya melihat rentenir menyikat isi rumahnya. Apalagi Tore berhutang untuk menebus obat buat anaknya karena sakit.
***
Mendengar teriakan Tore di malam buta, orang  lagi ronda berhamburan mendatangi Tore. “Apa benar, Tore, arwah Mak Isah bangkit dari kubur?” tanya Mang Diman sambil merapikan letak sarungnya yang diselempangkan di bahu.

“Benar, Mang, tadi aku lihat sendiri di bawah pohon jambu Jamaika depan rumah Pak Haji Imron!” jawab Tore dengan wajah seperti ketakutan dan nafas ngos-ngosan. Bicaranya terbata-bata.

Semenjak kejadian yang dialami Tore malam itu,  berita bangkitnya arwah Mak Isah semakin santer. Berita tersebar dari mulut ke mulut sangat cepat ke seluruh penjuru kampung yang tak terlalu luas itu.
Semua warga kampung makin gelisah, terutama bagi mereka yang biasa beraktivitas di malam hari.

Kampung seperti kuburan di malam hari. Tak terdengar suara alunan gitar yang dipetik pemuda kampung yang biasa nongkrong di perempatan jalan depan balai desa. Tak tampak sekelompok. bapak-bapak yang biasanya sekedar iseng bermain gaple . Wanita dan anak-anak tak ada yang berani keluar. Hanya petugas ronda kampung yang keluar lewat tengah
malam; itu pun terpaksa mereka lakukan karena demi menjalan tugas.

Berita bangkitnya Mak Isah ternyata mengusik hati Pak Kades. Dia jadi gerah mendengar berita itu. Setahu dia tidak ada dalam agama, jika orang mati bangkit kembali. Pak Kades faham hal itu, karena di samping jadi Kades, dia juga seorang ustadz yang kerap mengisi ceramah di masjid kampung. Pak Kades harus turun tangan, kalau tidak mau aktivitas desa di malam hari terganggu.

Pada suatu malam Pak Kades mengumpulkan warganya  di balai desa.
“Wahai saudara-saudara ku semua, berita kebangkitan Mak Isah itu takhayul. Tidak ada orang mati bangkit lagi, apalagi berubah jadi pocong. Saudara-saudara jangan percaya dengan hal semacam itu. Andaipun ada,kita tak perlu takut. Kita ditakdirkan Allah lebih sempurna dari segala macam setan dan pocong. Aku yakin masalah ini sengaja digembar-gemborkan oleh seseorang untuk tujuan tertentu!” seru Pak Kades dalam cuplikan pidatonya.

Mendengar pencerahan dari Pak Kades, hati warga mulai lega.
“Malam ini sengaja aku kumpulkan saudara-saudara untuk menyelidiki isu bangkitnya Mak Isah. Aku minta sepuluh orang  dari kalian yang hadir menemaniku selepas tengah malam nanti! ” lanjut Pak Kades

Setelah waktunya tiba rombongan  bergerak menuju makam Mak Isah. Pak Kades serta sepuluh warga yang lainnya mengendap di belakang tembok kuburan. Gelap dibarengi suara lolongan njing dari kejauhan serta dinginnya udara menjelang dini hari tak dapat mencegah niat mereka menyelidiki kasus Mak Isah.

Sudah satu jam lebih rombongan warga mengintip makam Mak Isah, tapi tak ada tanda-tanda keluarnya pocong atau makhluk apapun dari kuburannya. Akhirnya  mereka berpindah tempat menuju rumah Haji Imron yang ada pohon jambu jamaika, tempat Tore melihat Mak Isah Bangkit menjadi pocong.

Ketika rombongan tiba di tempat tujuan, mereka kaget dan sebagian ada yang ketakutan. Mereka melihat pocong sedang mengendap -endap di samping rumah Haji Imron.

“Tenang… tenang, ” kata Pak Kades, “Mari kita serbu pocong itu.

Warga beserta Pak Kades beramai- ramai menangkap pocong itu. Sebagian ada yang mau memukul dan menebas pakai golok.
“Sabaaar… sabaaar…” kata Pak Kades, “Jangan gegabah bertindak. Percayalah kepada saya, tak akan ada orang mati bangkit kembali. Jika saudara-saudara langsung main tebas dan pukul, saya khawatir urusannya jadi bertambah runyam.”

“Ampuuuun… Ampuuun… jangan pukul aku, jangan bunuh aku. Aku tobat…!” seru Tore yang memakai baju pocong dan topeng mirif wajah Mak isah, jantungnya berdebar ketakutan. Dia mau mencuri di rumah Haji Imron, tapi tertangkap basah. (*)

Al Arudi
Leave A Reply

Your email address will not be published.

Ada yang bisa kami bantu bro/sis ?