Dani berusaha melawan terjangan gelombang laut yang menghantam tubuhnya. Dia harus berjuang untuk menemukan keponakannya yang tenggelam. Dia akan merasa berdosa jika tidak menemukan keponakannya yang masih kecil. Dia merasa bertanggung jawab atas musibah yang menimpa keponakannya. Tapi dia tetap tak kuasa berkelahi dengan gulungan ombak yang secara beruntun menerjang, walaupun dia bisa berenang.
Dani mulai kesulitan bernapas, karena air laut sudah mulai memenuhi rongga napas dan paru-parunya. Tangannya menggapai-gapai, dia berusaha mencari sesuatu yang bisa dipegang. Namun apalah daya, posisi Dani bukanlah di tepi sungai atau danau, sehingga tak ada kayu dan batu ataupun sesuatu yang bisa diraihnya untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya tubuh Dani lemas. Di tak kuat lagi bertahan dari hantaman gelombang. Dani pasrah menerima takdirnya. Dia menghembuskan nafas terakhir karena tertelan gelombang ke dalam laut. Dani telah mengorbankan dirinya demi menemukan keponakannya yang lebih dahulu tenggelam. Jasad Dani bersama keponakannya mengapung di atas permukaan laut saat ditemukan oleh tim SAR keesokan harinya.
***
Narti duduk di sebuah pondok di tepi Pantai Batu Berdaun, pandangannya tertuju ke arah laut di mana dia melihat kekasihnya terakhir kali. Angin pantai menerpa ujung jilbabnya yang berwarna merah muda, sehingga riap-riap di sekitar baju dan wajahnya yang berbentuk opal.
Pondok-pondok terbuat dari kayu dan atap rumbia berjejer di sepanjang pantai yang berpasir putih. Pondok-pondok itu dibuat agar para wisatawan bisa bersantai dengan suasana alami. Dengan mengeluarkan uang lima puluh ribu wisatawan sudah bisa duduk bersantai di pondok sambil menikmati indahnya panorama laut.
Pada hari Minggu seperti saat ini suasana Pantai Batu Berdaun riuh, karena banyak pengunjung yang datang. Anak-anak maupun orang dewasa banyak yang bermain dan berendam di air laut dekat bibir pantai. Sebagian besar dari mereka adalah wisatawan lokal yang ingin mengisi liburan di akhir pekan. Namun keriuhan suasana pantai itu tak mampu menepis ingatan Narti atas apa yang telah terjadi dengan Dani dua tahun yang lalu.
Baginya ingatan kematian Dani adalah sesuatu yang sudah terpahat kuat dalam hati dan memori di kepalanya. Jika yang mati terseret gelombang laut itu bukanlah Dani tentu urusannya akan lain. Mungkin bagi Narti itu hanyalah hal biasa, karena setiap orang cepat atau lambat pasti mengalaminya dengan jalan yang berbeda-beda, tak terkecuali juga dengan dirinya. Walaupun saat ini jazadnya masih bercokol di atas bumi, tapi dia merasa dirinya sudah mati. Semangat dan harapannya untuk melangkah ke masa depan perlahan-lahan memudar. Cita-citanya ingin membangun mahligai rumah tangga sakinah mawaddah warahmah bersama Dani kandas di tengah jalan.
Kini semua cita-cita itu hanya jadi kenangan yang hingga kini masih terpahat dalam memorinya.
Sosok Dani yang sederhana serta rajin beribadah dan gemar mengenakan baju koko dengan celana tinggi sejengkal di atas mata kaki itu berhasil mengikat hati Narti. Bagi Narti sosok lelaki seperti Dani adalah tipe lelaki yang bisa menjadi imam bagi dirinya agar selamat di dunia maupun akhirat.
Sebenarnya banyak lelaki yang ingin mendekati Narti dengan harapan bisa menikahinya. Rata-rata dari mereka memiliki status sosial ekonomi di atas Dani. Namun Narti menolak, karena Narti yakin kebahagian tidak selamanya bisa dibeli dengan materi serta status sosial yang tinggi. Dalam menentukan calon suami Narti hanya berpegang dengan fatwa-fatwa dan dalil-dalil agama. Dia yakin dengan cara itulah kebahagian hidup yang hakiki bisa dicapai. Karena baginya dalil-dalil yang ada di kitab suci tidak mungkin berbohong.
Narti merubah posisi duduknya dengan cara meluruskan kedua kakinya yang tertutup baju gamis di atas lantai pondok yang terbuat dari rakitan kayu bulat. Dia menghela napas, menghirup angin yang membawa aroma laut. Pandangannya menatap jauh ke arah sekelompok burung camar yang menukik menyambar ikan di tengah laut.
Perkenalan Narti dengan Dani terjadi ketika Mereka sama-sama menjadi guru TPA pada sebuah masjid di Pangkalpinang. Dani bukanlah penduduk asli Pangkalpinang, namun dia pendatang dari daerah di ujung Pulau Sumatera. Karena seringnya bertemu dan berbincang di tempat anak-anak TPA, Narti dan Dani bisa saling mengenal watak masing-masing, sehingga tumbuhlah rasa cinta di hati mereka berdua.
Ketika hubungan mereka semakin dekat, Dani pun mengajak orang tua dan keluarganya yang ada di ujung Sumatra untuk melamar Narti di
Pangkalpinang— terletak di pulau Bangka—pulau kaya akan logam timah. Lamaran Dani diterima dengan senang hati oleh keluarga Narti. Rencana acara pernikahan dan resepsinya pun diatur, yaitu tiga bulan lagi, terhitung dari hari lamaran.
Dua hari menjelang keluarganya pulang ke ujung Sumatera, Dani mengajak mereka untuk berekreasi ke Pantai Batu Berdaun. Dani ingin melepaskan rasa rindunya kepada keluarganya lantaran sudah lebih dari lima tahun dia tidak melihat rupa serta wajah orang tua serta saudara-saudaranya. Sedangkan bagi orang tua dan keluarganya, hitung-hitung sambil berekreasi sebelum pulang ke daerahnya.
Setiba di Pantai Batu Berdaun, Narti dan Dani memisahkan diri dari keluarganya yang lain. Mereka berdua duduk santai di lantai pondok sambil menikmati hembusan angin dan indahnya panorama Pantai. Tak sedikitpun terbersit dalam pikiran mereka bahwa hari ini adalah terakhir kali mereka duduk berduaan.
Pembicaraan mereka masih pada seputar rencana pernikahan yang akan digelar tiga bulan ke depan.
“Tolong… tolong… tolong…!” Tiba-tiba salah seorang keponakan Dani berlari tergopoh-gopoh minta tolong.
“Ada apa, Dit?” tanya Dani kepada keponakannya
“Andri hilang tenggelam, Om,” jawab Adit dengan napas ngos-ngosan karena habis berlari.
Dengan bergegas Dani melepaskan baju, sehingga dia hanya mengenakan celana pendek.”Aku pergi dulu,” katanya kepada Narti.
“Jangan Dan, suruh orang lain aja menolongnya, aku khawatir terjadi apa-apa dengan kamu. Kalau terjadi apa-apa gimana nanti, Dan, bisa berantakan rencana pernikahan kita,” cegah Narti dengan wajah cemas.
“Tidak bisa, Narti, aku harus menolong keponakanku, dia masih kecil. Mereka datang ke Pantai ini karena aku juga yang mengajak.”
“Tapi, Dan, keponakanmu sudah tenggelam. Kamu tak bakal sempat lagi menolongnya,” balas Narti penuh khawatir.
Tanpa mengindahkan kata-kata Narti lagi, Dani pun bergegas menuju ke arah tempat keponakannya yang bernama Andri tadi bermain mandi-mandi. Keponakannya yang bernama Andri itu tiba-tiba terbawa gelombang ke arah tengah.
Ternyata itu adalah hari terakhir Narti melihat dan berbincang-bincang dengan kekasihnya. Hari-hari berikutnya dia hanya berteman dengan kenangan yang membuat hatinya dilanda kepiluan tanpa batas. Dia sendiri tidak tahu kapan rasa pilu dan sedih itu akan meninggalkan dirinya. Hingga kini, Narti masih menutup diri dari laki-laki manapun, karena kenangannya bersama Dani masih terpatri dengan kuat di hatinya.
***
Narti baru menyadari dia sudah berjam-jam duduk melamun di pondok dekat pinggir Pantai Batu Berdaun, setelah mentari mulai melemah menebar sinarnya di seputaran pantai. Angin pantai tak lagi bertiup kencang membelai kulit wajahnya yang putih. Orang-Orang yang dia lihat ada di pinggir pantai siang tadi, sekarang sudah berganti dengan orang lain yang ingin menikmati keindahan matahari terbenam. Burung-burung camar yang tadi riuh memangsa ikan sekarang sudah pulang ke sangkarnya.
Narti meninggalkan pondok di tepi pantai itu dengan membawa butiran air mata yang dia rasakan masih menempel di ujung pipinya. Dia masih merasakan kejadian yang menimpa kekasihnya dua tahun yang lalu bagaikan baru terjadi kemarin. Bagi Narti, perasaan itu mungkin akan pupus ketika menemukan peria lain yang serupa dengan Dani. Namun Narti tak pernah tahu kapan dan di mana itu akan terjadi. Hingga kini Narti masih betah hidup berteman dengan bayang-bayang Dani.