Menelisik Sistem Kearsipan dalam Perspektif Sejarah & Perkembangan Islam

Oleh : Dr. Hj. Eti Fahriaty, S.Pd.I, M.Pd (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang)

0

Banyak dari kita masyarakat Islam di Indonesia belum menyadari, dalam sejarah penghimpunan mushaf-mushaf ayat Al-Qur`an di era Khalifah Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa Islam sangat berkomitmen dalam proses untuk sebuah efektivitas dakwah dan penyebarluasan Islam itu sendiri.  

Di lain sisi, bahwa Al-Qur`an sebenarnya telah mengingatkan pentingnya arsip dalam sebuah catatan, terutama saat dua orang sedang bertransaksi untuk suatu urusan keperdataan. Catatan ini harus dibuat di depan saksi-saksi yang dapat dipercaya agar kelak reliabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Hal inilah sebenarnya yang diuraikan dalam surat Al Baqarah ayat 282. Surat tersebut jelas telah melegitimasi bahwa Islam memandang arsip sebagai sebuah proses dalam kehidupan sosial.

 

Sebagai makhluk sosial kita tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Kita berinteraksi dalam berbagai bidang kehidupan. mulai dari interaksi bidang sosial, ekonomi, dan budaya.  Untuk membuktikan keberadaan interaksi inilah  diperlukan catatan-catatan sebagai bukti adanya proses transaksi yang pernah berlangsung pada suatu waktu.

Arsip tercipta karena adanya transaksi kegiatan antara dua pihak. Transaksi yang legal dan sah tak pernah lepas dari keberadaan arsip. Dari kegiatan resmi inilah arsip bisa hadir untuk membuktikan dua belah pihak yang sedang bermufakat jika dikemudian hari ada masalah yang berkaitan dengan transaksi tersebut.

Nilai kebuktian arsip inilah yang memegang peranan penting untuk mengamankan hak-hak seseorang dalam bertransaksi. Hal ini disebabkan arsip tercipta seiring dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi. Konteks terjadinya arsip sangat menguatkan bobot informasi yang dikandungnya.

Sebagaimana definisi arsip yang tertuang dalam Undang-undang No 43 tahun 2009 Tentang Kearsipan bahwa arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga Negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Merekam dalam berbagai bentuk salah satunya adalah mencatat. Sebelum ada kertas, orang memakai media untuk mencatat pada media seperti kulit hewan, kayu, dan kadang kain sutra yang harganya terlalu mahal. Semua itu tidak praktis dan makan biaya.

Al-Qur`an pun telah mengingatkan pentingnya arsip entah itu berupa catatan atau rekaman bentuk lain dalam tulisan. Di dalam surat Al Baqarah ayat 282 dijelaskan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Di ayat tersebut telah jelas perintah untuk mencatat segala yang berkaitan dengan hutang piutang. Dalam kaitannya dengan kearsipan ayat ini bisa menjadi pedoman bahwa rekaman kegiatan itu penting karena keterbatasan daya ingat kita sebagai manusia.

Lebih dari sekedar perintah mencatat, bagaimana catatan itu dibuat pun menjadi pertimbangan penting agar arsip tersebut dapat dipercaya (Reliabel).  Jika dikaitkan dengan proses penciptaan arsip, ayat ini sangat menginspirasi, ternyata proses penciptaaan pun harus   sesuai dengan aturan yang ada. Al-Qur`an sudah menunjukkan bagaimana pentingnya arsip sejak semula diciptakan hingga mempunyai reliabilitas yang tinggi di kemudian hari.

Foto : ilustrasi. (net)

Mekanisme Kearsipan dalam Penghimpunan Ayat-Ayat Al-Qur`an

Sebagai bahan referensi untuk Pembaca yang budiman, berikut diuraikan secara singkat bagaimana mekanisme kearsipan sudah dilaksanakan oleh umat Islam sejak jaman kenabian hingga masa kekhalifahan.

Jika mengutip catatan sejarah, diturunkannya Al-Qur’an terjadi dalam 2 (dua) cara. Pertama, Al-Qur’an diturunkan secara lengkap di malam Lailatul qadar dari Lauh Al-Mahfudz ke Baitul Izzah atau langit dunia pada bulan suci Ramadansebagaimana diinformasikan dalam surah Al-Qadar ayat pertama: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya [Al-Qur’an] pada malam kemuliaan [Lailatul qadar]”Kedua, setelah diturunkan di langit dunia, lalu wahyu Al-Qur’an tersebut diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan konteks dan kebutuhan, berlangsung selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari secara berangsur-angsur.

Sejarah periodisasi Al-Qur`an sepanjang perjalanan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, para ulama membagi sejarah Al-Qur`an dalam 2 (dua) periode, yaitu periode sebelum hijrah dan periode selepas hijrah. Ayat-ayat Al-Qur`an yang turun sebelum hijrah dikenal dengan sebutan ayat-ayat Makiyah, sementara ayat-ayat Al-Qur`an yang turun usai hijrah dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah.  Pada periode sebelum hijrah terdapat 86 surah makiyah yang diturunkan selama 12 tahun lima bulan. Pada umumnya, isi ayat-ayat makiyah berkenaan dengan akidah dan penguatan tauhid. Wahyu Al-Qur`an di periode sebelum hijrah merupakan pokok ajaran Islam untuk mengokohkan keimanan umat yang ditindas oleh orang-orang kafir Quraisy. Pada kedua, terdapat  28 surah yang turun selama 9 tahun 9 bulan, ayat-ayat madaniyah umumnya berkaitan dengan muamalat, syariat, dan hukum-hukum Islam.

Lebih lanjut, pembukuan Al-Qur`an yang pada masa Rasulullah SAW, belum terkumpul rapi seperti sekarang karena proses perjalanan wahyu yang masih berlangsung selama hidup. Pengumpulan Al-Qur`an di masa kenabian ini dikenal dengan dua cara, yaitu melalui tulisan (jam’u fi as-suthur) dan melalui hafalan (jam’u fi ash-shudur). Sahabat-sahabat penulis wahyu diantaranya adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab. Adapun media tulis yang digunakan saat itu adalah pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit bintang, kayu, pelana, potongan tulang binatang, dan lain sebagainya. Selain langsung dituliskan, banyak sahabat yang langsung menghafalkannya ketika dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Paska Rasulullah SAW meninggal, terdapat kebutuhan untuk membukukan dan menstandardisasi Al-Qur`an agar tetap utuh dan terjaga keotentikannya. Para khalifah, dimulai dari Abu Bakar As-Shiddiq hingga Utsman bin Affan merasa perlu untuk mengumpulkan dan membukukan Al-quran menjadi kesatuan yang utuh. Setelah terjadinya perang Yamamah di masa khalifah Abu Bakar, banyak dari para hafiz atau penghafal Al-Qur`an dari para sahabat mati syahid, sehingga dihhawatirkan Al-Qur`an akan bernasib sama seperti kitab-kitab suci lain yang banyak terdistorsi karena telat dibukukan, maka Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar Al-Qur`an segera dikumpulkan. Kemudian khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit agar memimpin proyek pengumpulan Al-Qur`an tersebut.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan Usai kemudian dilakukan standardisasi terhadap perbedaan dialek (lahjah) kemudian disatukan agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, sehingga mushaf yang umum ditemui sekarang dikenal dengan cara penulisan Utsman atau Rasm Utsmani.

Perjalanan panjang sejarah penulisan Al-Qur`an ini makin mengokohkan keotentikan Al-Qur`an. Bukti bahwa Al-Qur`an merupakan kitab suci ilahi dijelaskan dalam surah Hud ayat 13: “Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia [Muhammad] telah membuat-buat Al-Qur`an itu.’ Katakanlah, ‘[Kalau demikian], datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya [Alqur’an] yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Allah SWT menantang jika ada yang berani mengingkari kebenaran Al-Qur`an, maka diminta untuk membuat surah seperti surah Al-Qur`an. Tentunya tidak seorang pun yang bisa membuat semacam Al-Qur`an. Hal tersebut menandakan bahwa Al-Qur`an benar-benar otentik dan berasal dari Allah SWT.

Foto : ilustrasi. (net)

Manajemen Kearsipan Perspektif Islam

Arsip merupakan kumpulan warkat yang disimpan secara sistematis karena mempunyai kegunaan agar setiap kali diperlukan dapat secara cepat ditemukan kembali. Sedangkan warkat itu sendiri adalah setiap catatan tertulis atau bergambar yang memuat keterangan-keterangan mengenai suatu hal atau peristiwa yang dibuat orang untuk membantu ingatannya (Priansa, dkk., 2015: 157). Maka manajemen kearsipan dalam perspektif Islam sebagaimana dituliskan oleh Khon (2011: 44) sudah ada di zaman Rasulullah karena berdasarkan hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW berbunyi:

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda : janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa menulis dari padaku selain al-Qur’an maka hapuslah dan beritakanlah hadits dariku yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka (HR. Muslim).

Maksud dari hadits ini adalah secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan al-Qur’an. Bagaimana tidak khawatir, al-Qur’an dan hadits sama-sama berbahasa Arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan Rasulullah SAW bagi hadits qauli. Jika sarana dan prasarana yang sangat sederhana itu al-Qur’an dan hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara al-Qur’an dan hadits.

Oleh karena itu, pelarangan sementara ini dilakukan adalah salah satu cara agar tidak tercampurnya al-Qur’an dengan hadits dan yang dicatat untuk sementara waktu adalah al.Qur’an dan tidak sembarangan untuk pencatatn (suhuf-suhuf) al-quran ini karena ada kodifikasi tertentu dan ini adalah salah satu bentuk dari kearsipan dan diantara sahabat rasulullah yang menjadi penulis al-Qur’an adalah Ubay bin ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Salim bin Ma’qal (Hermawan, 2013: 67-68).

Dengan demikian bahwa kearsipan di zaman Rasulullah sudah ada salah satu kepercayaan Rasulullah untuk menulis surat-surat adalah Hudzaifah.

Penutup

Melihat uraian ayat dan penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa mengarsip adalah perintah agama untuk mencegah ketidakjujuran yang bisa saja terjadi. Arsiparis dapat berbangga bahwa apa yang dijalaninya merupakan salah satu ibadah karena arsiparis mengelola catatan-catatan hasil transaksi yang kelak bisa dijadikan sebagai bukti pelaksananan kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sudah bukan waktunya lagi menganggap kearsipan sebagai kegiatan yang tidak penting dan bisa dibebankan kepada sembarang orang, mengingat nilai kebuktian dari arsip tersebut. Pengelola arsip dan arsiparis  pun haruslah bisa menjadi sosok yang jujur, yang jika dikaitkan dengan ayat tersebut di atas, mereka ini adalah saksi-saksi yang bisa menilai keautentikan sebuah catatan yang pada akhirnya nanti informasi yang dikandungnya bisa membuktikan kejadian sebuah peristiwa.

 

Sumber :

  • www.nu.or.id
  • www.muslim.or.id
  • www.tanwir.id
Leave A Reply

Your email address will not be published.

Ada yang bisa kami bantu bro/sis ?