Refleksi Peran Perpustakaan dalam Sejarah Perkembangan Islam

Oleh : Dr. Hj. Eti Fahriaty, S.Pd.I, M.Pd (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang)

0

Pada zaman pra-sejarah menuju zaman sejarah, ditandai ketika manusia mengenal tulisan, sebagai bahasa komunikasi yang dituangkan dalam simbol-simbol yang dipahami oleh sebuah komunitas. Begitu pula sejarah mencatat setiap peradaban manusia yang tumbuh dan berkembang, yang tidak terlepas dengan budaya tulis menulis, baik yang ditulis pada daun, kulit kayu, batu, kulit hewan atau media lainnya. Sehingga pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah buku yang kita kenal saat ini. Buku merupakan produk pemikiran manusia yang menggambarkan kebudayaan dan peradaban manusia pada masanya melalui buku, generasi sesudahnya dapat melihat adanya transformasi ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Buku mewakili manusia untuk menceritakan kebudayaan dan peradabannya, dalam tradisi intelektual Islam tidak terlepas dari peran dan keberadaanya buku di tengah umat.

 

Salah satu peranan perpustakaan merupakan agen perubahan, agen pembangunan, dan agen kebudayaan umat manusia, sebab membantu berbagai penemuan, sejarah, pemikiran, dan ilmu pengetahuan yang telah ditemukan pada masa yang lalu, yang direkam dalam bentuk tulisan atau bentuk tertentu yang disimpan di perpustakaan.

Bahwa masyarakat yang telah memiliki perpustakaan yang sudah berkembang baik dan maju, maka masyarakat itulah yang telah di indikasikan berperadaban tinggi atau maju. Hal ini karena perpustakaan yang berada
ditengah kehidupan masyarakat, biasanya selalu berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan umat manusia dan zaman dimana ia berada.

Di masa awal perkembangan Islam, buku-buku tersebut dikumpulkan pada sebuah perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana untuk belajar, hingga umat Islam mampu membangun peradaban besar yang bertahan beberapa abad lamanya. Banyak informasi dan ilmu pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik oleh
umat Islam dilupakan begitu saja. Akibatnya tatanan umat Islam baik aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan aspek kehidupan yang lain mengalami stagnasi.

Hal tersebut menunjukan beberapa pentingnya perpustakaan dalam pengembangan suatu bangsa. Dalam hal ini perpustakaan memiliki peran yang sangat penting, karena banyak ilmu pengetahuan, informasi dan dokumentasi yang disediakan oleh perpustakaan.

Banyak literatur yang mengungkapkan bahwa perpustakaan sebagai tempat aktivitas belajar, yang kegiatannya hampir sama dengan apa yang dilakukan di sekolah-sekolah. Fungsi dan peran perpustakaan ini banyak diadopsi oleh perpustakaan di negara maju seperti Inggris, Australia dan Kanada. Banyak perpustakaan diubah menjadi learning center atau resources center. Hal ini untuk mengidentifikasikan bahwa perpustakaan yang diperankan pada masa kejayaan Islam sangat penting dan representatif untuk pengembangan dan memajukan masyarakat.

Secara institusi, Saya sebagai seorang Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan sangat mengamini konsep sebagaimana penjelasan paragraph di atas. Makanya, dalam konsep kinerja yang kami usung di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang salah satunya adalah menjadikan Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang sebagai  learning center atau resources center.

Bayt al-Hikmah, Rumah Pengetahuan Peradaban Islam

Di masa kejayaan peradaban Islam, ada satu perpustakaan yang sangat fenomenal saat itu, namanya “Bayt al-Hikmah” yang merupakan perpustakaan terbesar yang didirikan pada awal abad IX M oleh Khalifah Harun Al-Rasyid.

Perpustakaan Bayt al-Hikmah merupakan suatu lembaga yang menyerupai universitas dan bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Karena alasan ini terbuka bagi semua orang yang cakap menggunakannya, maka Baitul Hikmah telah mendatangkan efek yang panting bagi kehidupan intelektual waktu itu serta menjadi referensi umum.

Menurut beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa Perpustakaan Bayt alHikmah didirikan pertama kali oleh khalifah ketujuh Abbasiyah, yaitu Khalifah AlMa‟mun pada tahun 215 H/ 830 M di Baghdad. Dalam sumber lain disebutkan bahwa

Perpustakaan Bait al-Hikmah didirikan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima dan ayah dari al-Ma‟mun yang berkuasa dari 170-193 H/ 786-809 M.6 Namun sesungguhnya cikal bakal dari Perpustakaan Bait al-Hikmah itu sendiri telah ada sejak masa Khalifah Abu Ja‟far al-Manshur.

Pada masa Khalifah Abu Ja‟far al-Manshur, ia mengkhususkan pembangunan untuk buku-buku bagus yang bersumber dari tulisantulisan bangsa Arab dan terjemahan dari bahasa yang berbeda-beda. Baru ketika masa
Khalifah Harun al-Rasyid yang memerintahkan untuk mengeluarkan buku-buku dan manuskrip-manuskrip yang ditulis dan diterjemahkan.

Harun al-Rasyid membuatkan bangunan khusus untuk memperbaiki ruang lingkup sebagian besar kitab-kitab yang ada dan terbuka di hadapan setiap para pengajar dan penuntut ilmu. Kemudian Harun al Rasyid juga membuat sebuah tempat yang sangat luas dan megah, kemudian semua kitab-kitab simpanan itu dipindahkan ke tempat tersebut yang selanjutnya diberi nama Bait al-Hikmah. Setelah itu, berkembang menjadi pusat akademik ilmiah paling terkenal dalam sejarah.

Setelah masa Harun Al-Rasyid, perpustakaan Bait al-Hikmah kemudian dikembangkan oleh Khalifah Al-Ma‟mun. Pada masa Al-Ma‟mun, perpustakaan Bait alHikmah bertambah besar dengan penambahan koleksinya. Al-Ma‟mun juga mengundang para penerjemah-penerjemah besar dan penyalin serta para ulama dan penulis-penulis. Tidak hanya sampai di situ, ia juga mengurusi misi ilmiah sampai ke negeri Romawi yang turut berpengaruh besar dalam kebangkitan dan kejayaan perpustakaan Bait al Hikmah.

Pada masa al-Ma‟mun juga, Bait al-Hikmah tidak hanya sebagai perpustakaan tapi juga sebagai akademi dan biro penerjemahan sekaligus, serta turut dikembangkan pula sebagai pusat aktivitas intelektual yang kemudian berlanjut pada masa penerusnya.

Berkembangnya perpustakaan Bait al-Hikmah, tidak terlepas dari beberapa faktor sebagai berikut. Pertama, kecintaan Khalifah Abbasiyah, dalam hal ini khususnya al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, adanya kegiatan penerjemahan secara besar-besar yang berlangsung sepanjang abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh. Ketiga, berkembangnya penggunaan kertas dalam dunia Islam.

Keempat, banyaknya ilmuwan dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk belajar dan melakukan penelitian di
Kota Baghdad. Kelima, kekayaan Dinasti Abbasiyah dan dukungan materil untuk berbagai aktivitas intelektual, seperti memberikan imbalan yang besar bagi setiap ilmuwan, pendanaan untuk lembaga penerjemahan dan observatorium dan lain-lain. Keenam, adanya tuntunan menuntut ilmu yang ditanamkan dalam ajaran Islam, yang mendasari semangat khalifah dan para ilmuwan.

Bait al-Hikmah merupakan bagian dari bangunan istana khalifah yang terletak di kota Baghdad, lembaga ini dikelola oleh sejumlah mudir (direktur) para ilmuwan yang diberi gelar “Shahib”. Direktur Bait al-Hikmah ini disebut dengan “Shahib Baitul Hikmah”.

Direktur pertamanya yaitu Sahal Ibn Harun al-Farisi (215 H/ 830 M). Ia diangkat oleh Khalifah al-Ma‟mun, selain itu ia dibantu oleh Said ibn Harun yang dijuluki juga dengan Ibn Harim, untuk mengurusi Bait al-Hikmah. Hasan Ibn Marar Adz Dzabi juga diangkat di kantor Bait al-Hikmah.10 Lembaga ini memiliki beberapa fungsi mulai dari fungsi utamanya sebagai perpustakaan, Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga riset/observatorium dan juga biro penerjemahan.

Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan besar pertama di Baghdad, perpustakaan merupakan bagian dari divisi Bait al-Hikmah yang di dalamnya mengoleksi dan mengelola kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan baik kitab hasil penerjemahan berbagai bahasa. Kitab-kitab tersebut tersusun di rak-rak dan dapat diambil oleh siapa saja yang membutuhkan. Perpustakaan ini juga dilengkapi dengan ruang tersendiri untuk para penyalin, penjilid dan pustakawan.

Pada masa Khalifah Harun al Rasyid, perpustakaan Bait al-Hikmah merupakan tempat menyimpan buku yang dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh sejumlah staf. Bahkan Rubhay Mushtofa Ulyan dalam kitab “al-Maktabaat fi al-Hadharoh al-Arobiyah al-Islamiyah” secara tegas menjelaskan bahwa perpustakaan Bait al-Hikmah dibagi menjadi 3 struktur organisasi yaitu pertama, “Mushrif al-Ulya” (Penanggungjawab) disebut Wakil. Kedua, “Amiin al Maktabah” (petugas perpustakaan/ bisa juga disebut pustakawan) disebut khazin dan ketiga “al-Musaid” (pembantu petugas perpustakaan) disebut Mushrif atau staf.

Koleksi perpustakaan ini sangat beragam dan mencakup berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansakerta dan lain-lain. Koleksi Bait al-Hikmah ini terdaftar dalam buku al-Fihrist dan al-Kasfy karya Haji Khalifah. Juga dalam al-Fihrist karya Ibn al-Nadim, diketahui jumlah koleksi Bait al-Hikmah mencapai lebih dari 60.000 buku jumlah yang
sangat fantastis untuk ukuran masa itu. Bahkan penempatan buku-buku di perpustakaan Bait al-Hikmah selain milik khalifah, disusun berdasarkan klasifikasi ilmu (subjek) yang disusun oleh Ibn Nadim.

Koleksi perpustakaan yang dimiliki oleh perpustakaan Bait alHikmah dibagi beberapa kelompok yang disusun berdasarkan kepemilikan koleksi, seperti koleksi yang dikumpulkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid yang diberi nama
Khizanah al-Rasyid. Koleksi yang dikumpulkan oleh Khalifah al-ma‟mun diberi nama Khizanah al-Ma‟mun, kemudian sisanya yang lain ditempatkan menurut subjek.

Kontribusi Khalifah al-Ma‟mun

Khalifah al-Ma‟mun dikenal sebagai pribadi yang mempunyai minat besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia telah berusaha keras mengumpulkan berbagai buku-buku langka dan berharga dari banyak lokasi yang berbeda-beda, dan kemudian dikumpulkannya di dalam Bait al-Hikmah. Khilafah al-Ma‟mun biasa membeli buku atau mengirim utusan ke konstatinopel untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya.

Bahkan, ia terkadang pergi dan membeli sendiri buku tersebut. Cara lain yang dilakukannya adalah dengan mengirim utusan Islam ke negeri asing, kemudian menunjukkan kitab-kitab yang ada pada mereka. Hal yang paling unik adalah melalui pengambilan jizyah (pembayaran pajak) yang terkadang wajib dibayar dengan buku. Demikianlah perpustakaan ini memperoleh buku-buku yang berbeda-beda dan bermacam-macam sampai tidak terhitung jumlahnya dan tidak ada jenisnya sebelum itu.

Pada masa Khalifah al-Ma‟mun, ada tiga ilmuwan yang tercatat sebagai pustakawan di Bait al-Hikmah, di mana mereka diberi tanggungjawab memimpin keseluruhan lembaga Bait al-Hikmah yang tidak hanya sebatas perpustakaan saja. Pada perpustakaan tersebut juga mempekerjakan lebih dari satu pustakawan yang mempunyai kedudukan yang sejajar, di antara pustakawan yang tercatat pernah bekerja di sana adalah Salma,
Sahl ibn Harun dan Hasan ibn Marar al-Dzabi.

Selain ilmuwan dan pustakawan, Bait al-Hikmah juga mempekerjakan penyalin dan penjilid buku. Penjilid paling terkenal adalah Ibn Abi al-Haris yang bekerja pada masa pemerintahan al-Ma‟mun. penyalin lainnya yang juga terkenal adalah Abu Sahlu alFadhu ibn Nubak dan Allan al-Syu‟ubi. Pada masa Harun al-Rasyid, seorang penyalin
buku yang tidak memberikan tambahan sesuatu, tulisan dan kreasi yang baru atau hanya bertugas sebagai penyalin buku saja dapat dibayar dengan imbalan 2000 dirham (sekitar 134 juta) setiap bulannya.

Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan

Selain sebagai perpustakaan, Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai akademik atau lembaga pendidikan. Pada masa Harun al-Rasyid dan al-Ma‟mun, Bait al-Hikmah memiliki peran yang sangat besar sebagai sebuah lembaga tempat belajar, bagi pelajar dalam kedudukan yang sama.

Ketika sekolah-sekolah berdiri, ditentukan oleh guru-guru yang mengajar serta gaji bulanan yang diatur oleh bendahara umum. Gaji ini juga diperoleh dari badan-badan wakaf yang digunakan untuk memberikan infak untuk urusan tersebut. Gaji yang diberikan berbeda-beda menurut kedudukan pengajar atau masukan wakaf, meskipun begitu masih cenderung mewah dan cukup banyak. Di antara pengajar itu adalah Az-Zajaj yang mendapatkan rizki sebanyak 200 dinar setiap bulan sebagai fuqaha dan ulama. Begitu juga dengan Hakim al-Muqtadli ibn Daraid yang mendapatkan 50 dinar pada setiap bulannya.

Berdasarkan uraian di atas membuktikan bahwa perpustakaan Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai lembaga penerjemahan ribuan buku-buku berbahasa Yunani, Persia, India dan bahasa lainnya. Peranan perpustakaan Bait al-Hikmah yang tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan, namun sebagai lembaga penterjemahan, lembaga
pendidikan, dan lembaga riset/ observatorium sebagaimana telah dibahas di atas, dapat dipahami betapa besar kontribusi yang telah diberikan kepada masyarakat pada masa itu maupun masa sesudahnya.

Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hitti dalam History of the Arab bahwa sebelum masa penterjemahan berakhir (masih efektifnya Bait alHikmah), semua karya-karya Aristoteles sudah dibaca oleh orang-orang berbahasa Arab. Ini terjadi tatkala Eropa hamper belum mempunyai pengetahuan apa-apa tentang alam pikiran dan ilmu pengetahuan Yunani. Tatkala Harun al-Rasyid dan Al-Makmun sudah giat menyelami filsafat Yunani dan Parsi, orang-orang di zaman mereka di dunia Barat, Yakni Karl Agung dan kaum ningratnya, masih mencakar-cakar untuk menulis namanya.

Maka tak heran jika para khalifah-khalifah pada zaman keemasan Islam semakin sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan, untuk itu mereka mendirikan perpustakaan sebagai pusat intelektual muslim, di mana kota Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang terpenting dalam sejarah intelektual Islam.

Menarik untuk dicermati bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang dicapai pada periode ini juga ditandai dengan perkebangan perpustakaan yang sangat pesat di tengah masyarakat. Perpustakaan telah berkembang menjadi institusi akademis yang menjadi pusat kajian, di samping perannya sebagai gerbang dan tempat pelestarian
ilmu pengetahuan.

Hal ini bukanlah merupakan fenomena yang kebetulan akan tetapi jika dicermati memang terdapat hubungan yang erat antara perpustakaan dengan ilmu pengetahuan. Pada satu sisi, perkembangan ilmu pengetahuan di dunia manapun memerlukan dukungan suatu lembaga yang secara khusus mampu menyimpan dan meyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Di sisi lain, sesungguhnya perpustakaan hanyaakan berkembang pada masyarakat yang menaruh perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sejarah Islam.

Sejarah perpustakaan Islam klasik pada masa Daulah Abbasiyah yang begitu pesat perkembangan dan kemajuan pada masa Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma‟mun. Maka dari itu, saya tertarik untuk menggali dan merefleksi kembali secara singkat bagaimana peran perpustakaan pada masa tersebut.

Dengan menggali kembali sejarah tentang perpustakaan masa lalu diharapkan dapat mengambil hikmah untuk kemajuan perpustakaan masa kini dan yang akan datang tanpa harus menjadikan sejarah sebagai bagian masa lalu yang hanya dikenang sebagai romantisme sejarah.

Melalui tulisan ini juga, saya mengimbau dan mengajak aparatur baik di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang serta masyarakat untuk terus memuliakan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai kawah candradimuka ilmu pengetahuan.

Kepada Fungsional Pustakawan, dimana pun berada, Anda harus berbangga, profesi yang Anda tekuni sebagai seorang pustakawan ternyata menjadi salah satu profesi yang paling dihargai dalam Islam. Lihat bagaimana Khalifah Harun al-Rasyid  bahkan sampai memberi sebutan istimewa “Amiin al Maktabah” kepada para pustakawan.

Maka dari itu, melalui momentum Bulan Suci Ramadhan 1444 H kali ini, mari kita refleksikan kembali bagaimana ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia ternyata berkaitan erat dengan peran dan fungsi perpustakaan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kita di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang, agar ke depan, layanan di Perpustakaan Umum ini bisa terus dikembangkan dan upaya bersama tersebut dapat mewujudkan peran Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang sebagai learning center atau resources center. Semoga!

 

Sumber :

  • Agus Rifa’i, Perpustakaan Islam: konsep, sejarah dan kontribusinya dalam membangun peradaban Islam Masa Klasik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).
  • Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, h. 78. Lihat juga Raghib As-Sirjani, Sumbang Dunia Islam pada Dunia.
  • Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan Di Masa Khilafah Islam, Surabaya: Al-Izzah.
  • Al-Sibai, Musthafa Husni. 2002. Khazanah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
  • www.duniaperpustakaan.com
  • www.kompasiana.com
Leave A Reply

Your email address will not be published.

Ada yang bisa kami bantu bro/sis ?