Tikus Pengerat Sebotol Kecap

0

Karya :

Al Arudi

(Pegawai Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang)

 

Gogon jadi bingung ketika dia tidak melihat lagi botol kecapnya di atas meja. Meja bagi Gogon hanyalah sebuah peti kayu yang dibuat dari papan bekas hasil memulung di tempat sampah. Dia ingat betul sehabis makan malam tadi, dia meletakkan botol kecap itu di atas meja. Dia coba mencari botol kecap itu ke dalam lemari, barang kali dia lupa. Rak-rak piring juga tak lupa digeledahnya, botol kecap itu tak nampak juga olehnya.

Tapi usahanya tak sampai disitu. Gogon terus berusaha, karena hatinya penasaran ingin tahu keberadaan botol kecap itu. Kali ini Gogon menyodok- nyodok kolong bawah peti papan yang berfungsi sebagai lemari dengan sapu. Benar saja rupanya, botol kecap ada di bawah lemari. Gogon sangat gembira. Masalahnya dia tidak perlu membeli ulang lagi untuk satu minggu sebotol kecap yang sudah pasti dia akan mengeluarkan uang lagi.

Makanan favorit Gogon memang kecap dipadu dengan telur rebus. Maklumlah, kerja sehari hari Gogon hanya mengumpulkan kardus bekas. Tempat tinggalnya pun hanya numpang di pinggir kali dengan gubuk bertiang empat dan beratap plastik tebal serta berdinding triplek yang sudah hampir lapuk.

Bagi Gogon bisa makan lauk telur rebus diolesi kecap saja sudah merupakan rejeki yang sangat mujur. Sekali-sekali dia memancing ikan-ikan yang besarnya seukuran jempol kaki di kali dekat gubuknya untuk menambah lauk makan. Namun jarang-jarang sekali dia mendapat ikan, kebanyakan ikannya sudah pada mabuk. karena air kalinya sudah bewarna kecoklatan tercemar oleh limbah sampah yang di buang orang ke kali.

Gogon merasa kecewa setelah menemukan botol kecapnya. Pasalnya botol kecap sudah berlobang-lobang, isinya sudah terkuras lebih dari setengah botol. Ini pasti ulah tikus, pikirnya.

Timbul rasa dendam kepada tikus dalam hati Gogon.  Dia sangat benci kepada tikus. Dia ingin menangkap tikus dengan perangkap tikus bekas yang dia temui di tempat pembuangan sampah. Dia ingin menusuk-nusuk perut tikus dengan garpu bekas yang ujungnya dia kikir sehingga menjadi runcing dan tajam. Perut tikus akan berlobang-lobang, ususnya terburai serta dibarengi darah kental yang muncrat keluar. Bila perlu daging tikus itu akan digoreng dan dimakannya, agar tikus yang lain melihat, dan tak berani lagi menggigit botol botol kecap milik Gogon.

Namun sebelum memakan daging tikus, Gogon ingin bertanya dulu kepada Pak Ustadz usai sholat maghrib di langgar nanti. Dalam sehari Gogon hanya sekali saja mengerjakan sholat, yaitu sholat maghrib.

“Assalammualaikum, Pak. Ustadz,” sapa Gogon ketika dia menemui Pak Ustadz yang baru keluar dari dalam langgar.

“Wa’alaikum salaam,” jawab Pak Ustadz spontan,”

“Boleh saya bertanya gak, Pak Ustadz?”

“Ya tentu boleh dong, Gon.” Emangnya kamu mau nanya apa, Gon?” tanya Pak Ustadz ingin tahu.

“Apakah boleh saya makan daging tikus, Pak Ustadz?”

Mendengar pertanyaan Gogon, Pak Ustadz  jadi bingung sambil garuk-garuk kepalanya yang masih tertutupi peci bewarna putih. Pak ustadz merasa aneh, karena masih ada orang yang menanyakan hal semacam itu. Tapi kemudian dia memaklumi, sebab yang bertanya ialah orang seperti Gogon.

Pak Ustadz memahami latar belakang kehidupan Gogon yang tidak memiliki pendidikan yang memadai. Akhirnya pertanyaan Gogon dijawab ringan dan dengan lapang dada oleh Pak Ustadz, “Ya, gak boleh, Gon, tikus itukan binatang yang membawa penyakit.”

“Tapi, Pak Ustadz, saya mendengar ada orang yang makan tikus sawah, katanya tikus banyak mengandung protein,” jawab Gogon.

“Itu betul, Gon, tapi kandungan mudharatnya lebih besar ketimbang peroteinnya,”jelas Pak Ustadz,” Jika kamu memakan tikus, berarti kamu mau membinasakan tubuhmu sendiri. Kamu bisa terkena penyakit. Agama kita melarang membinasakan diri kita sendiri,” jawab Pak Ustadz sambil tersenyum dan lapang dada.

Mendengar jawaban Pak Ustadz yang berlawanan dengan keinginannya, Gogon merasa tidak enak hati. Dia hanya melongo memperhatikan Pak Ustadz. Tapi dia tidak berani berdebat dengan Pak Ustadz. Rupanya Gogon bisa menyadari bahwa pemahaman agamanya hanya seujung kuku dibanding ilmunya Pak Ustadz. Tanpa mengucapkan terimakasih kasih kepada Pak Ustadz, Gogon pun berlalu pulang.

Bukanlah Gogon namanya jika dia menuruti kata-kata Pak Ustadz. Dia tidak akan merubah niatnya untuk membinasakan serta memakan tikus yang telah melubangi botol kecap nya.

Malam harinya Gogon memasang perangkap tikus yang dia peroleh dari lokasi pembuangan sampah saat dia memulung siang tadi. Perangkap tikus yang  terbuat dari jalinan kawat itu sudah nampak karatan, namun masih bisa dipakai dengan jalan diperbaiki sedikit oleh Gogon. Tidak lupa juga Gogon memasang umpan kepala ikan asin yang dia curi dari toko kelontong siang tadi ketika pemiliknya sedang lengah. Umpan dipasang pada kail umpan yang tergantung di bagian dalam perangkap tikus. Lalu perangkap tikus diletakkannya di bawah kotak papan bekas sayuran yang disusun dan berfungsi sebagai lemari di gubuk milik Gogon.

Mata Gogon memperhatikan perangkap tikus itu. Senyumnya menyeringai. Dia yakin nanti pasti ada tikus yang masuk ke perangkapnya. Dan dia tak sabar lagi untuk mencincang dan melumat daging tikus-tikus yang telah membuat hatinya geram.

Benar saja ketiga dia bangun di pagi hari, telinganya langsung menangkap suara tikus yang mencicit datang dari arah perangkap yang dia pasang semalam. Ada dua ekor tikus sekaligus yang masuk perangkap. Mereka meronta-ronta sambil mencakar-cakar dinding perangkap agar bisa keluar.

Gogon menghampiri tikus-tikus itu. Hatinya makin gregetan melihat tikus-tikus yang mencicit serta meronta-ronta mencari jalan keluar itu. Dia sudah tak sabar lagi ingin mencabik-cabik hewan pengerat itu. Mata Gogon melotot tajam memperhatikan hewan-hewan itu. Sebentar lagi daging kalian akan aku lumat, batinnya.

Gogon membawa tikus-tikus itu ke tepi kali samping rumahnya. Satu persatu dia mengeluarkan tikus-tikus itu. Tanpa ada rasa jijik dia menggenggam leher hewan itu dengan  telapak tangan dan jari-jarinya yang kurus, tapi keras.

Dengan hati penuh kebencian kepada tikus itu, dia tusuk tubuh tikus-tikus itu dengan garpu yang sudah dia asah ujungnya dengan kikir. Dua ekor tikus itu mencicit-cicit karena kesakitan. Darah yang muncrat dari perut dua ekor tikus itu sebagian masuk ke air kali. Dua ekor tikus itu pun mati dengan mengenaskan. Sekarang Gogon merasa puas sudah bisa membalas sakit hatinya kepada tikus-tikus yang telah mencuri sebotol kecap untuk lauk makannya.

Selanjutnya dia sudah tak sabar lagi ingin menyantap daging tikus itu, tapi dia harus memasaknya terlebih dahulu dengan cara menggoreng dengan minyak hasil mulung dari sisa minyak dalamjerigen di toko kelontong dekat pasar.

Bulu-bulu tikus itu dibersihkannya dengan cara membakarnya di atas api dengan tungku batu. Kemudian jeroan tikus dicabut dan dibuang ke kali. Daging tikus itu dipotong-potong dan digoreng serta dibumbui dengan kecap buat lauk makan siang. Gogon merasakan daging tikus itu sangat lezat dan mengenyangkan perutnya.

Gogon tak menyangka dua hari setelah menyantap daging tikus itu dia mengalami demam serta menggigil. Kepalanya pusing dan seluruh otot dan persendiannya terasa nyeri. Di bawah ketiak serta pangkal pahanya terdapat benjolan berwana merah kalau disentuh terasa nyeri.

Dia batuk mengeluarkan dahak berbusa bercampur darah. Gogon megap-megap. Dia kesulitan bernapas. Dia berusaha menarik napas, namun semakin dalam dia menarik napas, dadanya terasa semakin sakit.

Gogon tidak tahu kalau dia terjangkit penyakit pes. Penyakit pes adalah penyakit yang penularannya melalui sejenis kutu yang sudah menggigit hewan pengerat. Dia tak punya uang untuk konsultasi dan berobat ke dokter atau rumah sakit. Gogon tak punya kartu BPJS.

Dia  menanggung penderitaannya hanya seorang diri. Tak satu pun orang yang tahu penderitaan Gogon di atas pembaringan yang hanya terbuat dari tumpukan kardus serta koran di dalam gubuknya. Gogon tak punya saudara dan tak punya orang tua. Dari kecil dia tak pernah tahu bagaimana rupa orang tuanya. Dia hanya tahu sedari kecil dia sudah berkubang dengan kardus bekas dan botol plastik bekas di lokasi pembuangan sampah.  Dia pun tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Cara menghitung uang receh pun dia hanya tahu dari melihat dan mendengar omongan orang sehari-hari di tempat pengepul barang rongsokan.

Kini Gogon hanya bisa pasrah menanti takdirnya, baik ataupun buruk dari Yang Maha Pencipta.

 

Ditulis di Pangkalpinang, 2023

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Ada yang bisa kami bantu bro/sis ?